pengemis dan pa'gandeng mangga di Mie Kering Awa jalan Bali

Jumat, Oktober 28, 2011


Rame dan larisnya mie kering awa tentu diikuti dengan pihak-pihak yang ikut menikmati keuntungan..  banyak menyerap tenaga kerja, supplier bahan pokok makanan dan minuman, tukang parkir, toko kecil disamping yang menjual rokok, permen dan pulsa, pa’gandeng atau daeng sambalu -sebutan di Makassar untuk penjual keliling, dan pengemis …..yang stamplas (menetap) disitu, disebut begitu karena banyak juga pengemis yang mondar-mandir mengusik yang makan, dari berbagai panti asuhan dan anak kecil yang menuntun kakek buta.

Pengemis yang menetap ini menurut saya adalah orang yang paling menikmati keuntungan larisnya awa setiap malam. Tadinya tidak begitu menarik perhatian, terbiasa sambil lalu menyisihkan sedikit uang kembalian ke tangannya. Kebanyakan yang membayar juga seperti itu.


Malam itu full house, jadi seperti biasa kita antri diantara meja kasir outdoor dan percikan api dari tungku berwajan raksasanya. Pengemis itu juga berada diantara kita. Saya perhatikan, penampilannya sama sekali tidak lusuh. Bapak tua itu selalu mengenakan kemeja putih bersih dan celana panjang berwarna muda tanpa wadah menampung duit (mungkin karena jarang menerima duit koin). Duit sisa kembalian mulai mengalir ketangannya dari setiap yang membayar. 
Penggila awa jarang datang sendirian, selalunya berkelompok. Jadi, dari begitu banyak orang yang berada disekitar meja kasir, ada banyak   lembaran 1000an, 2000an bahkan tidak jarang  lembaran 5000 atau 10000 yang diberikan ketangan pengemis itu. 
Saya perhatikan, belum sampai 15 menit pengemis itu sudah mengantongi sekitar 20 ribuan………juga ada 4 orang perempuan muda sedang membayar dikasir, sepertinya mereka pramuniaga toko, menghitung duit dan membayar tagihannya sendiri-sendiri, serentak menyisihkan kembaliannya ke tangan bapak tua itu bahkan ada yang sibuk merogoh tasnya. Ada juga ibu-ibu seperti saya he..he…karena seringnya dibayari jadi masih ada duit nganggur untuk berbagi. Lalu di dalam masih banyak yang makan, pasukan yang mengantri juga masih banyak, dan masih keliatan antrian mobil mencari tempat parkir……

Malam itu saya takjub, hanya dengan berdiri menadahkan tangan, sesekali menganggukkan kepala, bapak itu dengan begitu mudahnya mencetak uang…rupiah demi rupiah terkumpul dalam waktu singkat.
Ketika makanpun saya gak konsen, sesekali menoleh keluar kearah kerumunan orang dekat meja kasir sambil menghitung kasar..…namanya juga duit kan pasti menarik untuk dikulik…jika dalam sekian menit bapak itu bisa mengumpulkan uang selumayan itu, berapa dalam satu jam….dan dalam semalam. Taruhlah tidak semua  menyisihkan duitnya dan tidak semua dalam pecahan lumayan, tapi jika lokasi mangkalnya di tempat rame seperti awa dan posisi berdirinya ditempat strategis seperti itu….dikali sebulan……pantesan bapak itu mengemis tanpa wadah karena jarang menerima duit koin, dan takut orang mengurungkan niatnya karena melihat tumpukan duitnya….

Kata Ida sahabatku, bapak itu bisa nyicil motor walaupun yang bekas.  Atau seperti pengemis yang saya liat dilampu merah depan gedung DPRD Makassar yang pulangnya dijemput motor. Bukan cuma satu orang yang seperti itu. Baru ngeh kalo mengemis juga sudah karir ya….
Namanya juga rejeki orang ya, datangnya tidak sama pada setiap orang dan tidak dalam waktu bersamaan. Terbayang ibu-ibu penunggu warung gerobak dipinggir jalan, ada yang sambil mengayun bayinya. Mengharap keuntungan dari selisih harga sebatang rokok, sachet kopi dan mie instant.
Tengah malam, dekat perempatan lampu merah dijalan menuju ke rumah kakakku, ibu dan anak tertidur pulas di lantai samping dagangan rokoknya, sementara si bapak terkantuk-kantuk menunggu datangnya ban kempes.

Ibu-ibu penunggu warung, pa’ gandeng buah  dan siapapun mereka, adalah orang-orang yang berani mengambil resiko, bertanggung jawab pada hidupnya dengan bekerja keras tanpa mengharapkan belas kasihan orang. Seperti kita, merekapun percaya bahwa sebaik-baiknya tangan adalah tangan yang berada diatas, tangan yang tidak menadah.

Jadi waktu malam kemarin kami datang lagi ke awa untuk yang kebanyak kalinya, perhatianku lebih ke Pa’gandeng buah yang  kalah pamor dibandingkan bapak pengemis itu. Tetap setia menyapa dan menawarkan mangga dan jeruknya walaupun jarang yang beli, lebih banyak yang berlalu didepannya setelah menyisihkan sebagian duit kembalian ke pengemis yang sehat bugar itu. Sekarang saya memilih untuk membeli buah saja, kitanya sehat dianya juga laris manis kan. Bagi- bagi rejekilah…….

Ayo ke Makassar….

You Might Also Like

1 komentar

Subscribe